Refleksi Surat Al-Maa’uun Mengenai Sebuah Kehidupan Manusia
Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat 114 surat, surat Al-Maa’uun berada pada urutan ke-107. Surat ini terdiri dari 7 ayat yang berbunyi :
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. Orang-orang yang berbuat riya[1] 7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna[2]. (Q.S Al-Maa’uun 107 : 1-7).
[1] riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
[2] sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.
Dalam bahasa Indonesia, Al-Maa’uun (الْمَاعُونَ) mempunyai arti barang-barang yang berguna. Kata Al-Maa’uun (الْمَاعُونَ) diambil dari kata yang berada pada ayat yang terakhir yaitu ayat ke-7 yang berbunyi (bqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$#). Surat Al-Maa’uun ini tergolong kedalam surat Makiyah, yaitu yang turun di kota Makkah dengan beberapa karakter surat yang pendek dan berisi tentang ketauhidan. Surat Al-Maa’uun ini turun setelah surat At-Takatsur. Sebagaimana wahyu Allah yang diturunkan seperti yang lainnya, surat Al-Maa’uun ini diikuti oleh sebuah peristiwa atau yang lebih dikenal dengan “Asbabun Nuzul”. Ceritanya seperti ini :
Ketika dahulu kala pada Zaman Rasulullah SAW. terdapat sekelompok orang munafik (berpura-pura percaya atau setia kepada agama, tetapi sebenarnya dl hatinya tidak) yang rajin beribadah, yaitu sholat dalam kaitannya dengan hal ini. Namun patut disayangkan bahwa setiap mereka sholat itu ingin dilihat oleh orang lain tidak diniatkan karena Allah. Ketika ada orang yang melihat mereka sholat, maka mereka akan sholat dengan khusuknya. Ketika tidak ada orang yang melihatnya maka mereka sholat dengan cara sesuka mereka, atau malahan mereka tidak mengerjakan sholat, padahal sholat merupakan ibadah wajib, sarana beribadah kepada Allah SWT dan meninggalkannya merupakan dosa. Termasuk melalaikan sholat. Apa yang dikerjakan mereka selalu ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Mereka bisa dikatakan sebagai orang yang riya (sombong, congkak, bangga karena telah berbuat baik. Termasuk kedalam kamu munafik tersebut adalah mereka yang enggan memberikan barang-barang yang berguna yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkanya. Mereka acuh. Selain itu, kaum munafik tersebut tercatat sebagai orang yang enggan membayar/mengeluarkan zakat. Allah SWT tidak suka terhadap kaum yang seperti ini, oleh karena itu diturunkanlah wahyu kepada nabi Muhammad SAW melalui perantar malaikan Jibril, sebagai ancaman bagi kaum munafik tersebut dan menggolongkannya mereka oleh Allah SWT sebagai kaum yang mendustakan Dien (Agama).
Berkaitan dengan surat Al-Maa’uun dan sejarah turunnya (Asbabun Nuzul)nya diatas Rasulullah SAW dalam hadistnya seperti yang tertulis dalam Tafsir Ibnu Katsir dan sebagaimana ditegaskan dalam kitab ash-Shahihain :
“Itu adalah sholat orang munafik, itu adalah sholat orang munafik, itu adalah sholat orang munafik. Dia duduk menunggu matahari sehingga jika matahari itu sudah berada di antara dua tanduk syaitan, maka dia berdiri lalu naik turun empat kali tanpa berdzikir kepada Allah di dalamnya kecuali hanya sedikit sekali.”
Dalam hadis tersebut meskipun tersirat, mencoba menggambarkan tentang keadaan sholat kaum munafik. Mereka sholat dengan mematuk seperti “burung gagak”, tidak tenang dan tidak khusyu’ dalam mengerjakannya. Mungkin, kita pernah berlaku seperti itu. Memang, kekurangan manusia adalah selalu dalam keadaan yang tidak tenang dan selalu terburu-buru. Itu bisa jadi dikarenakan juga kita sebagai manusia sering menganggap waktu yang diberikan oleh Allah SWT terlalu pendek. Padahal, kita manusia sendiri yang tidak sadar Allah SWT begitu adilnya kepada manusia dan seharusnya kita senantiasa memikirkannya (mengingatnya).
Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[1]. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[2] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali[3]. (Q.S An-Nisaa’ 4 : 142).
[1] Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani para mukmin. dalam pada itu Allah Telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
[2] riya ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.
[3] Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, yaitu bila mereka berada di hadapan orang.
Patut dicermati, Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah SAW untuk menjadi petunjuk bagi umatnya, serta merupakan rahmat bagi seluruh manusia. Al-Maa’unn baru merupakan sepotong bagian di dalamnya. Oleh karena itu sejah surat ini turun, sampai sekarang ternyata masih relevan dan manusia harus “melek” melihat sekitar seperti sekarang ini, khusunya di Indonesia. Tercatat sebanyak 31,02 juta orang pada tahun 2010 adalah orang miskin dari keseluruhan total penduduk Indonesia 235 juta jiwa.
Apakah orang miskin tersebut muslim? Kemungkinan besar jawabannya benar. Berarti Al-Maa’uun masih relevan saat ini. Marilah berinstrospeksi bagi kaum muslim. Salah-satunya melalui sura Al-Maa’uun ini. Termasukkah kita sebagai orang-orang yang mendustakan agama? Rasanya, setiap minggu, bahkan setiap pagi hari di televisi ditayangkan acara yang memberikan siraman rohami muslim. Tapi masih saja persoalan kemiskinan tetap merajalela. Tentunya semua orang tidak mengharapkan persoalan ini sebagai never ending problem. Ini merupakan common enemy (musuh bersama) yang harus kita entaskan. Kemiskinan jangan diberdayakan. Tapi masyarakat yang harus diberdayakan. Mulai dari diri sendiri dan menyadari apakah kita termasuk ke dalam golongan manusia tadi : yang mendustakan dien (Agama).
Seperti yang tertulis dari ayat 1 sampai 7, disebutkan satu per satu cirri-ciri orang yang mendustakan din (Agama). Yaitu :
1. Orang yang menghardik anak yatim
2. Orang yang menganjurkan tidak member makan orang miskin
3. Orang yang melalaikan sholat
4. Orang yang berbuat riya
5. Orang yang tidak mau memberikan barang-barang yang berguna, yang dimilikinya (tidak mau mengeluarkan zakat).
Terlihat dari lima poin di atas, secara naluri dan akal sehat kita sadar bahwa itu merupakan perbuatan, tindakan dan sifat yang buruk. Hati manusia yang paling dalam sebenarnya menolak untuk melakukan semua itu. Tapi ketika sudah berurusan dengan hawa serta nafsu, semua itu akan menjadi mungkin untuk dilakukan meskipun buruk dan mengakibatkan sesuatu yang mudharat.
Manusia hidup berdampingan dengan manusia lainnya. Oleh karena itu manusia dikatakan makhluk sosial. Tak mungkin manusia hidup sendiri, meskipun bisa-bisa saja. Tapi itu tidak akan bertahan lama, serta itu telah melenceng dari fitrah manusia untuk saling berbagi dengan sesamanya. Kehidupan modern seperti sekarang telah memperlihatkan secara kontras mana yang miskin dan yang kaya terlalu jauh kesenjangannya. Ketika orang yang berada di kategori ekonomi menengah ke atas tengah bingung memilih akan makan apa serta makan beserta siapa, orang miskin boro-boro memikirkan itu. Untuk makan mereka hanya bisa berharap. Harta tak punya, apalagi tempat tinggal.
Mengapa saya terlebih dahulu menguraikan tentang orang miskin? Karena ini menurut saya adalah yang paling krusial. Pelataran kota kecil sampai metropolitan di negeri ini tak akan absen dari pengemis yang notabene bisa dikatakan sebagai orang miskin. Miskin sekali sampai-sampai mereka mengemis, menjadi gelandangan, tak punya tempat tinggal serta tidak ada yang peduli. Tak sedikit dari mereka menjadi gelandangan yang gila (maaf). Sampai manakah kepedulian masyarakat kita?
Sebenarnya, sebelum terjadinya kemerdekaan yaitu tahun 1990-an telah lahir gerakan Al-Maa’uun secara tersendiri di tanah air ini. Yang tercatat dalam sejarah yaitu oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Sebagai tokoh dan founding fathers organisasi Muhammadiyah (Pengikut Nabi Muhammad). Seperti yang tergambar dalam sejarah, buku, literature, cerita orang tua, bahkan telah diangkat ke dalam layar lebar (film).
Luar biasanya Al-Maa’uun bila diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu kepekaan yang harus diasah adalah sejak dari kecil untuk senantiasa selalu peduli akan nasib para wong cilik tersebut. Kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran. Begitu kata orang bijak. Memang benar, fenomena sekarang ini kristenisasi tengah merajalela. Terutama di daerah pelosok, pedalaman, daerah terpingirkan. Tapi, tak menutup kemungkinan di daerah perkotaan pun ini terjadi. Seiring dengan “terdegradasi”nya moral karena kurangnya pengetahuan dien (agama). Dalam hal ini, Islam dan umatnya tak bisa disalahkan dan siapa yang dipersalahkan. Akan lebih baik, ketika semua ikut bergotong-royong, sama-sama bahu-membahu membentuk tatanan yang lebih baik.
Contoh yang telah ditunjukkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, begitu beliau disapa setelah pulang pergi haji serta belajar di tanah Arabia. Sebelumnya beliau bernama Muhammad Darwisy memperlihatkan kepedulian sesama terhadap kaum papa atau dalam bahasa islami-nya kaum mustadzafin. Untuk apa membaca banyak-banyak surat dan menghafalnya tanpa ada yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup memang harus seperti itu. Begitu pentingnya surat Al-Maa’uun bagi beliau begitu juga para murid-murid pertama beliau, Kyai Hisyam, Muhammad Sangidu, Muhammad Sudja dll. Hal yang pertama kali dilakukan adalah member bantuan seminimal mungkin yaitu dengan memberi makan orang miskin, baru kemudian memberdayakan anak-anak mereka. Terutama para anak-anak yatim. Terlihat dari contoh yang beliau tunjukkan, para anak-anak jalanan diberikan pendidikan oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan hati ikhlas, semata-mata untuk memanusiakan manusia.
Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Al-Baqarah 2 : 220)
Kata “menghardik” bisa juga berarti menghina, membuat mereka terluka, baik jasmani maupun secara rohani. Anak-anak yatim jangan disia-siakan. Berikanlah mereka kasih sayang. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang kurang beruntung dalam hal ini mereka tidak lengkap dalam keluarga mereka. Bisa jadi anak yatim itu tak memiliki ayah saja, bisa jadi mereka telah ditinggalkan ibu, bahkan tak memiliki kedua-duanya. Namun, secara bahasa sehari-hari kita, yang dinamakan anak yatim itu yang tak memiliki bapak, seorang yang seharusnya secara lahir dan batin memberikan nafkah kepada keluarga. Sampai saat ini, cobalah kita sejenak merenung apabila kita berada pada posisi itu. Sampai saat ini, ada fenomena yang cukup menarik tentang status hubungan antara anak dan orang tua. Yaitu, meskipun anak masih memiliki orang tua yang masih hidup (lengkap), tapi dia merasa mereka sudah tidak ada. Ini bisa terjadi karena perceraian, ketidakcocokan orang tua, atau mereka yang memang mengabaikan anak-anak mereka. Oleh karena itu, mungkin pergeseran tentang anak yatim agak bergeser sebab banyak sekali anak jalanan yang tak memiliki orang tua. Meskipun, wallahu’alam orang tua mereka masih ada ataupun tidak. Tapi mereka telah menganggap mereka (orang tuanya) telah tiada.
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya. (Q.S Al-Baqarah 2 : 215).
Hampir di setiap sudut kota, kolong-kolong jembatan layang, emperan toko (teras pertokoan), pasar-pasar tradisional, perempatan lampu merah, tempat yang jauh di pembuangan sampah akhir (TPA) mereka (anak jalanan-mungkin tak memeliki orang tua serta orang miskin) tetap eksis ada bertahan hidup mencari penghidupan. Kemanakah kewajiban pemerintah? Seperti yang telah dituliskan di dalam konstitusi Indonesia, bahwa orang miskin dan gelandangan dipelihara oleh Negara. Meskipun yang disebut Negara tersebut adalah seluruh komponen yang ada, termasuk masyarakat dan aparat pemerintahan. Secara sisi kemanusiaan, ini semua perlu dipertanyakan. Dalam 65 tahun kemerdekaan, keberadaan kaum miskin selalu diberdayakan dan dijadikan proyek. Apakah teguran-teguran Allah SWT tidak dihiraukan melalui kekuasaannya, atau peringatan-peringatan-Nya tak dihiraukan yang telah tertulis dengan jelas dalam Al-Qur’an Al-karim. Ini menjadi keprihatinan bersama, kitab suci umat islam ini memang banyak dan setiap hari selalu dilakukan pencetakkan dan distribusi yang luar biasa ke seluruh pelosok dunia dan setiap muslim tentunya harus bisa membaca ayat-ayat di dalamnya. Apakah cukup dengan membacanya? Kemudian dalam tradisi kita (Indonesia) harus berangsur-angsur dilakukan semacam memaknai ayat-ayat yang ada. Karena Indonesia bukan arab. Bahasa yang digunakan bukan arab sebagaimana yang ditulis dalam Al-Qur’an. Telah ada Al-Qur’an disertai terjemahannya. Cukuplah membaca seperti itu? Tentunya belum. Pengamalan yang paling penting. Begitu katan K.H. Ahmad Dahlan. Berapa kalipun kita membaca setiap ayat dalam Al-Qur’an tanpa pengamalan menjadi hambar, kurang afdhal.
Ada banyak buku yang berkaitan dengan surat Al-Maa’uun (meskipun belum sebanyak novel atau komik), salah satunya adalah Tafsir Surah Al-Maa’uun - Pembelaan atas Kaum Tertindas, karya Nur Khalik Ridwan (2008). Beragama dalam surat Al-Maa’uun tidak selalu identik dengan keshalehan dan ketakwaan. Beragama dan melakukan ritual-ritual agama tidak selalu menjadikan seseorang bisa dipercaya dan membawa amanah (hal. 3).
Surah Al-Maa’uun ini juga membawa pesan : betapa pentingnya keterlibatan sosial dan pemberdayaan social terhadap masyarakat miskin, minoritas dan pentingnya membela keadilan dan menjustifikasi gerakan-gerakan sosial berbasiskan santri dan kitab kuning (hal. 4). Dalam kaitannya manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fil ‘ard) menjadikan kepedulian kepada sesama menjadi sangat fundamental (mendasar) bagi keseharian. Tentunya ini semua ada makna yang tersirah dari Allah SWT. Karena kita semua tentunya meyakini semua yang telah diciptakan oleh-Nya ada manfaat dan membuat kita senantiasa husnudzan. Berbicara tentang surah pendek dan penuh makna ini harus dilakukan dengan perbuatan. Salah satunya mungkin dengan memperbaiki sholat kita bukan semata-mata untuk keshalehan ritual, tapi juga sosial.
Hubungan manusia dalam kehidupan tidak selalu harus mementingkan hubungan vertical dengan tuhannya. Niscaya, seperti yang telah dijelaskan tadi Allah SWT menggolongkan terhadap yang mementingkan hal ini sebagai ORANG YANG MENDUSTAKAN DIEN (AGAMA). Hubungan horizontal harus terus ditingkatkan kedermawanan, meskipun tak bisa membantu dengan harta bantulah sebisanya, dan tentunya bantulah dengan sesuatu yang menjadi barang-barang berguna. Pastikan itu tertatanam dalam hati dan melekat dalam pikiran. Annas anfa’uhum linnas, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Penerapan Al-Maa’uun di Era Modern
Salah satu tempat pemberdayaan atau yang sekarang banyak adalah tempat anak yatim yaitu panti asuhan. Terlepas dari segala kontroversinya yang mulai terkuak saat ini tentang segala kekurangan dan dalam penyelenggaraan/pengeloaannya, panti asuhan setidaknya menjadi wadah mereka (anak jalanan-anak yatim) bisa berteduh dari ganasnya dunia luar. Mereka memiliki rumah minimalnya. Kedepan setelah mempelajari apa yang menjadi kekurangan saat ini patut dilakukan pembenahan di dalamnya. Panti asuhan tersebar luas, mulai yang berlatar belakang agama, atau yang semata-mata hanya panti asuhan yang sifatnya sosial. Ini biasanya bantuan dari kedermawanan yang mau berkorban dan merelakan waktu membuat tempat ini.
Rumah Singgah identik dengan anak jalanan. Mereka diberi keterampilan disana tanpa harus tinggal di dalamnya. Keberadaan rumah singgah di kota-kota besar menjadi wujud daripada gerakan Al-Maa’uun. Kurang perhatian dari masyarakat terlihat sekali bila melihat rumah-rumah singgah. Tempat ini dibangun dari swadaya dan gotong-royong para relawan yang prihatin dengan keadaan anak-anak jalan. Mereka tidak bisa mengenyam pendidikan, untuk itu mereka diberikan keterampilan dan pelajaran-pelajaran secara non-formal. Sampai saat ini maukah kita meluangkan waktu untuk mereka?
Waktu tidak bisa disalahkan, begitu juga keadaan. Takdir harus diterima dengan lapang dada dan dengan segala keihkhlasan. Para kaum yang termarginalkan seperti orang-orang miskin perlu perhatian. Begitupun ketika mereka sakit. Keberadaan rumah sakit harus menjamin mereka bisa mendapatkan pelayanan. Apalagi sekarang marak dengan organisasi-organisasi kemasyarakan yang concern mengurus kemaslahatan ummat. Ini harus dibuktikan.
Tentunya kita tidak mau digolongkan kepada orang-orang yang mendustakan dien (Agama). Seperti yang tertulis dalam ayat terakhir :
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna[1]. (Q.S Al-Maa’uun 107 : 7)
[1] sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.
Begitu habatnya zakat bila dikelola. Ini yang mesti menjadi perhatian. Allah SWT tidak semata mata mengartikan melalui ayat ini untuk hanya membayar zakat semata, tapi bagaimana implementasi dan kegigihan seorang hamba mewujudkan keshalehan secara horizontal yang seimbang dengan keshalehan secara vertikal dengan tuhannya.
Dan Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. (Q.S Az-Zumar 39 : 52).
Wallahu’alam bishawab.
No comments:
Post a Comment