Bercermin kepada “Sang Pencerah” agar Semangat ber-Muhammadiyah
Muktamar Satu Abad Muhammadiyah sampai sekarang masih menyisakan kenangan-kenanganya bagi semua yang terlibat secara langsung maupun tidak. Memang, perhelatan akbar semacam itu dirancang khusus untuk memperlihatkan eksistensi Muhammadiyah kepada dunia. Bahwa dari daerah Yogyakarta organisasi ini berkembang melebarkan sayapnya untuk jadi “perkumpulan” yang menyerukan kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Sebagaimana yang menjadi landasannya ayat Al-Qur’an surah Ali-Imran:104, serta K.H. Ahmad Dahlan sebagai founding fathers yang menjadi pelopor gerakan Muhammadiyah agar senantiasa berbakti dan menolong umat tanpa pamrih, seperti mengutip perkataan beliau “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Memori tentang perjuangan pendiri Muhammadiyah kembali teringat, kali ini melalui layar lebar. Solusi yang cerdas. Memang, sebagai seorang tokoh dan pahlawan nasional, K.H. Ahmad Dahlan sejak dari usia yang begitu muda sebelum mengganti namanya dari Muhammad Darwisy, memperlihatkan keprihatinannya kepada kondisi umat, saat itu di sekitar Kraton Hadiningrat Yogyakarta. Kemiskinan dan kebodohan merajalela selama penjajahan saat itu tahun 1880-an, serta pihak yang mempunyai kewenangan kurang begitu perduli dengan rakyatnya. Begitu juga kondisi saat ini, dengan majunya kekuatan teknologi informasi serta di era globalisasi ini angkatan muda harus lebih peka melihat kondisi umat. Gerakkan laskar Al-Maun setidaknya masih sangat relevan. Apalagi dengan begitu pesatnya gaps antar masyarakat menambah catatan panjang kesenjangan sosial. Untuk itu, minimal saling mengingatkan untuk berbuat baik perlu sekali digencarkan kepada umat, karena Islam ini merupakan rahmat bagi semua manusia. Rahmatan lil Alamin.
Saat usia 21 tahun Ahmad Dahlan sudah mempelopori untuk meluruskan kiblat mesjid yang keliru. Apa yang sudah lakukan pada usia itu? Kembali lagi, itu merupakan tantangan dan motivasi untuk semuanya agar senantiasa ber-fastabiqul khairaat. Seperti yang dilihat, meskipun untuk pertama kali gagal meyakinkan para petinggi, termasuk ulama yang berada di Kesultanan Yogyakarta, Ahmad Dahlan terus berfikir secara positif. Setelah itu ternyata juga yang mendukung beliau dan yakin bahwa yang diutarakan Ahmad Dahlan adalah benar, kemudian satu dari morbot (pesuruh Mesjid) Mesjid gede yang sebenarnya dia adalah keponakan dari Kyai Mesjid Gede, dimana beliau kurang yakin dengan perkataan Ahmad Dahlan tentang arah kiblat. Dalam Muhammadiyah sekarang, konteks pembaharuan seperti yang dilakukan K.H.A. Dahlan harus dilakukan dalam rangka melayani umat melalui AUM. Bidang pendidikan, kesehatan, sosial serta ekonomi perlu direvitalisasi keberadaanya demi tatanan masyarakat yang senantiasa maju dan dijauhkan dari penyakit malas.
Titik puncak ketegangan yang bercampur dengan emosi dan kesesedihan yang mendalam di Sang Pencerah adalah saat dirobohkannya Langgar Kidoel. Keberingasan sesungguhnya warga diluapkan dengan begitu membahana memukul satu persatu yang ada, merusak semua, membakar dan mencaci. Melupakan sisi kemanusiaan dan kekerabatan yang ada. Bruk!!! Suara tiang yang jatuh itu menggetarkan setiap hati yang ada. Sisi kekejaman manusia terlihat begitu cepatnya datang. Masalah keyakinan memang sensitif. Bukannya hanya saat itu kejadian serupa terjadi, saat ini pun ada. Dimanakah Posisi Muhammadiyah? Setiap orang boleh menentang yang berbeda pandangan. Tapi tidak dilakukan dengan kekerasan dan kebengisan atas nama agama. Apalagi Islam. Bicarakan secara baik-baik, giringlah sesama, mereka yang melenceng aqidahnya tersebut. Pasti mereka akan mengerti. Cepat ataupun lambat. Itulah usaha yang harus dikerjakan saat ini. Umat damai negeripun akan menjadi tenteram, rasa kasing sayang dan mengasihi harus kembali ditebarkan, asal juga dengan kaidah-kaidah tertentu jangan sampai kesenjangan terjadi. Tapi, asalkan dengan niat yang baik, pasti akan mendapatkan yang baik pula bahkan yang terbaik. Tentunya bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk seluruh semesta.
Kemampuan manusia yang terbatas menjadikannya kurang begitu memahami keadaan sosial. Rasa kepedulian yang ditunjukkan K.H. Ahmad yang yang dipupuk kepada para muridnya untuk senantiasa memperhatikan sesama patut dicontoh. Saat mengaji, meskipun hanya satu surat tapi jika diamalkan akan lebih berfaedah. Begitu ditanya oleh seorang muridnya kenapa hanya mengaji Al-Maun saja, kan di Al-Qur’an itu ada 114 surat. Hati merasa tenang dan tenang melihat kepedulian sesama manusia begitu besarnya pada sosok seluruh muri-murid K.H. Ahmad Dahlan. Begitupun Muhammadiyah saat ini, dimanapun itu baik pengurus, simpatisan, anggota, ditingkatan manapun hendaklah saling bergotong-royong, marilah sejenak kesampingkan dulu kepentingan pribadi.
Menarik, apa yang dilakukan K.H. Ahmad dahlan untuk memutuskan mengajar di Sekolah Rakyat Budi Utomo. Beliau pada awalnya merasa minder karena bukan dari golongan terpelajar, melainkan dari lingkungan pesantre. Dengan rasa optimisme, beliau berani untuk melakukan tantangan mengajarkan agama. Ternyata hasilnya berhasil. Sangat memuaskan bahkan. Lambat laun beliau sadar, bahwa saat itu perlu untuk mengikatkan kegiatan sosial beserta murid-muridnya melalui perkumpulan (organisasi), setelah bermusyawarah dengan salah satu usul dari muridnya diambillah Muhammadiyah sebagai nama perkumpulan mereka. Dibantu oleh Budi Utomo untuk mengurus perijianan, akhirnya niat baik itu terlaksana. Semua itu memperlihatkan begitu besarnya suatu kerjasama.
Islam tidak anti perubahan. Cikal bakal Muhammadiyah dalam bidang pendidikan sudah ada sebelum Muhammadiyah dirintis dan didirikan. Madrasah Diniyah yang dibuka K.H. Ahmad Dahlan beserta murid-murid mengajinya mempelopori pendidikan agama disatukan dengan pendidikan umum. Belum lagi ”gebrakan” yang ada, yaitu menggunakan kursi dan meja dalam belajar mengajar, memang pada saat itu masih tabu dengan peralatan saat itu karena identik dengan bangsa Belanda yang notabene disebut kafir. Disamping merelakan sebagian tempat tinggal K.H. Ahmad Dahlan untuk sekolah, simpanan pribadi Nyai Walidah istri K.H Ahmad dahlan direlakan ”ini untuk umat/pendidikan”. Kerelaan hati yang luar biasa. Begitu juga dengan para muridnya yang semangat belajar, berbagi dengan para anak-anak jalanan, mengajaknya untuk sekolah, dan menyemangatinya. Bagaimana dengan kita? Pendidikan di Muhammadiyah memang untuk kaum terbelakang, rata-rata untuk menengah ke bawah. Tapi banyak yang telah dihasilkan Muhammadiyah baik itu tokoh bangsa umat bahkan tokoh dunia. Kita harus syukuri itu dan menjadi cerminan untuk maju lebih baik dan jangan terlena dengan yang telah ada.
Kesalahpahaman mungkin bisa terjadi. Entah itu karena komunikasi yang kurang baik, kurang memperhatikannya seseorang atas sesuatu seperti tulisan atau kejadian. Bila tidak ditangani akan mengakibatkan sesuatu yang meresahkan. Karena manusia pada dasarnya memiliki nafsu yang besar sekali untuk menguasai dan berkuasa. Hal seperti ini bisa dikatakan egois. Ketika penghulu Mesjid Gede kala itu tak melihat dengan jelas dan kurang memahami permohonan K.H. Ahmad Dahlan tentang pendirian perkumpulan Muhammadiyah. Persepsi penghulu K.H. Ahmad Dahlan hendak menjadi Residen/Pemimpin daerah Yogyakarta, padahal yang tertulis adalah Presiden/Ketua/Kepala Muhammadiyah. Masalah menjadi runyam. Masyarakat dirundung ketakutan dan kegalauan. Meskipun pada akhirnya semua berakhir dengan bahagia untuk menatap masa depan yang cerah. Sebagaimana judulnya Sang Pencerah.
No comments:
Post a Comment