Ads Top

Gue Bukan Gie

Foto : Istimewa
Entah sudah berapa kali saya menonton film Gie. Sepertinya lebih dari lima kali. Film Gie yang mengangkat perjalanan hidup seorang aktivis zaman Orde Lama yang bernama Soe Hok Gie. Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini memang untuk darah muda yang selalu bersemangat seperti saya. :)

Dosen saya pernah bilang, seperti apa yang ditulis Gie, berbahagialah mereka yang mati muda. Banyak aktivis yang mati muda, tapi mereka selalu dikenang melalui tulisan mereka. Seperti Gie, ada juga Chairil Anwar, yang terkenal dengan puisi-puisinya. Sementara itu Gie dikenang dalam tulisannya Catatan Seorang Demonstran. Ia memang seorang penentang, terutama kepada aturan-aturan yang tidak memihak pada kebenaran, kepentingan rakyat, yang menindas, dan yang hanya mementingkan golongan tertentu saja. “Tak ada yang lebih puitis selain mengatakan kebernaran” kata Gie.

Ada yang bilang bahwa film Gie hanya propaganda. Melalui ceritanya, khalayak dihadapkan atas dua sisi yang berbeda dari keadaan saat itu, maupun sisi lain dari tokoh-tokoh yang ditampilkan, termasuk sisi lain dari Gie sendiri.

Bagi saya, realitas yang dihadapkan kepada kita, perlu kita kaji lagi. Itulah gunanya diskusi. Dalam film ini, sejak sekolah dasar, Gie muda senang membaca dan berdiskusi. Di kelas dia termasuk yang paling aktif menyampaikan pendapatnya. Baik itu tentang kebijakan maupun tentang pelajaran. Puncaknya saat dia kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Diskusi sangat intens ia lakukan dengan kawan-kawannya. Diskusi tentang kampus, pemerintahan, maupun tentang lingkungan. Tak sampai disitu, referensi yang dilakukan bukan tentang realitas disekeliling, ada juga dari buku maupun dalam bedah film.

Gie lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Gie menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Semeru, Jawa Timur. Melakukan aktifitas di alam adalah salah satu kesenangannya. Hampir setiap akhir pekan ia habiskan untuk mendaki gunung, terutama gunung Gede, di taman nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Seperti lagu yang menceritakan kisahnya “berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu sebenarnya”.

Seperti halnya dalam demostrasi, demonstran turun ke jalan untuk menyampaikan suaranya, menyuarakan tuntutannya. Bagi Gie, itu hanya bagian kecilnya saja. Gie melawan dengan menulis. Hingga ia menjadi dosen di almamaternya, Gie tetap kritis melihat situasi yang menurutnya tidak sesuai.

Sejak kecil Gie selalu mempunyai teman yang dekat dengannya. Apalagi ketika kuliah, kedekatan dengan kawan-kawannya memperlihatkan dirinya perlu bekerjasama, ia tak bisa sendiri. Dalam perjuangan perlu kebersamaan dan saling menjaga. Mungkin itulah filosofi yang Gie ambil dari perjalanannya naik-turun gunung di Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala).

Dalam cinta, Gie kurang begitu mahir. Dalam menjalin hubungan kekasih, katanya ia agak “rikuh”. Selain faktor kondisi politik pada saat itu yang memprihatinkan, faktor cinta membuat hatinya merenung lebih dalam. Menjadi inspirasinya dalam menulis di kehidupannya yang singkat.
Sebagai seseorang yang lahir di tanah air, kita sama tak ada yang berbeda. Perjuangan kita sama, untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk mewujudkan negeri damai, adil, makmur dan raknyatnya yang sejahtera. Meskipun dalam jalan dan waktu yang berbeda.

Puisi Cahaya Bulan
Soe Hok Gie

Akhirnya semua akan tiba pada sautu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Kabut tipis pun turun pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi

Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
Yang tak akan pernah ku tau dimana jawaban itu

Bagai letusan Merapi bangunkan ku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati

Gambar : ulasberitadotcom.blogspot.com

No comments:

Powered by Blogger.