Ads Top

Politisasi Pendidikan

Ilustrasi Siswa KJP
Boleh saya bilang bahwa pelajar kini berbeda dengan pelajar tahun 1940-an. Pelajar saat itu ikut terlibat dalam usaha merebut kemerdekaan. Pelajar saat itu adalah mereka yang belajar di berbagai institusi kolonial baik di Nusantara maupun di mancanegara. Maka tak aneh jika orang-orang yang bersekolah pada saat itu disebut orang terpelajar, mereka adalah orang-orang yang memiliki kontribusi positif bagi perjalanan bangsa.
Selain pelajar dulu yang berbeda, sudah barang tentu dunia pendidikan dan lembaga pendidikannya berbeda pula. Dulu, lembaga pendidikan didirikan oleh mereka yang peduli dengan kondisi rakyat yang terbelakang dalam berbagai bidang. Kita kenal Sekolah Rakyat, MULO, HBS, hingga institusi pendidikan Budi Oetomo dan Muhammadiyah. Disamping itu ada juga pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan.

Orang-orang dulu sadar bahwa mereka harus belajar (sekolah) karena ilmu yang akan didapat mampu memberikan perubahan dan tentunya bermanfaat. Bahkan tak sedikit orang-orang dulu yang justru banyak belajar di luar lembaga pendidikan. Tetapi mereka sadar dengan kondisi pada saat itu mereka harus belajar sepanjang waktu. Pendidikan ditempuh dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga demi kedaulatan bangsa. Orang-orang dulu belajar dengan hati, pendidikan diselenggarakan dengan hati.

Bagaimana pendidikan kini? Orientasi dan tujuan pendidikan kini agak melenceng dari cita-cita. Ketika tujuan itu termaktub dalam Pembukaan UUD, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun pada realitanya orang-orang kini menempuh pendidikan (sekolah) berorientasi untuk lulus saja lalu bekerja. Sungguh dangkal dan orientasi yang terlampau sempit.

Kita boleh bertanya kepada orang-orang tua dulu. Saat awal kemerdekaan, Malaysia mengirimkan banyak pelajarnya ke Indonesia untuk menuntut ilmu. Dan terbukti Negeri Jiran tersebut mampu membangun bangsanya kini.

Pendidikan kita kini terlampau jauh disusupi kepentingan politik. Tidak cukup dunia olah raga yang dicampuri orang-orang tak bertanggung jawab ini. Politisasi pendidikan telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Banyak bantuan pun dipolitisasi, bahkan KJP (Kartu Jakarta Pintar) pun tidak luput dari penyimpangan. Sudah jelas pengurusan bantuan ini dikelola oleh dinas yang bersangkutan, tapi Partai yang memiliki kepentingan ikut campur. Maka runyamlah urusan.

Para politisi di partai ini mengatasnamakan dirinya dan organisasinya yang telah memberikan bantuan. Ujung-ujungnya dukungan suaralah yang mereka minta. Inilah yang membuat pendidikan kita jauh dari tanpa pamrih. Jika mau membantu, bantulah dengan ikhlas tanpa ada syarat dan ketentuannya.

Kini semata-mata bantuan dari pemerintah yang memang mengiming-imingi masyarakat saja. Kemudahan yang masyarakat dapatkan hanya membuat dunia pendidikan kita kian pragmatis. Jika memang ingin membantu, pemerintah harus tegas dan menindak segala penyimpangan.

Saya harap kedepannya pendidikan kita semakin baik lagi. Banyak pelajar kita yang memiliki kompetensi untuk membawa bangsa ini menuju kejayaan. Semoga, cepat atau lambat

No comments:

Powered by Blogger.