Membaca itu Melawan!
Membaca itu Melawan!
Oleh : David effendi
Selain membaca itu untuk memotivasi diri dan orang lain manfaat lainm dari membaca adalah upaya keras dan kuat untuk melawan ketertinggalan, kebodohan, penindasan dan kefakirmiskinan yang melanda diri, keluarga, masyarakat dan bangsa kita. Bagi penulis, kekayaan bangsa bukan hanya berapa besar jumlah devisa, seberapa besar pulau, sebarapa banyak propinsi, atau seberapa besar sumber minyak yang terkandung di dalam perut bumi negeri ini. Melainkan seberapa besar hasrat masyarakat mencintai buku bacaan, seberapa ramai perpustakaan dibangun dan dikunjungi orang. Ini hanyalah mimpi karena sampai sekarang perpustakaan yang besar tetap kalah ramai dengan swalayan yang paling kecil di kecamatan. Apalagi membandingkan keramaian perpustakaan dengan careffour atau matahari mall. Gila!
Membaca bukan hanya kewajiban pribadi akan tetapi kewajiban peradaban bagi siapa saja yang merasa beradab. Tanpa membaca bagaimana anda mengerti bagaimana cara membangun dan mempertahankan peradaban utama, peradaban di mana kehidupan yang toleran, saling memanusiakan manusia, saling menebar kedamaian dan bukan menjadi binatang buas bagi sesama. Membaca itu melawan! Melawan apa?
Pertama, membaca itu melawan penindasan. Di sebuah desa saya yang kecil penindasan terjadi secara laten. Semua orang sadar betapa susah mencari uang. Tapi begitu tidak bernilainya uang. Al kisah, membuat KTP habis 30 hari ini pekerjaan sehari penuh, membuat akte kelahiran sampai 500 ribu, menikah sampai 400 ribu. Semua biaya ini tidak ada satupun yang mempertanyakan dimana aturan ini berasal dan bagaimana bunyinya? Seolah orang tidak peduli sama sekali karena membaca aturan itu bukanlah hal yang penting seperti halnya kita membeli hp atau televisi kita nyaris tidak pernah membaca buku panduanya. Kedua, membaca itu melawan kebodohan. Kalau bodoh kita gampang ditipu, kalau bodoh kita gampang disakiti, kalai bodoh kita menjadi korban selamanya. Kebodohan tidak pernah menguntungkan bagi kita tapi bisa jadi menguntungkan bagi penguasa, bagi orang jahat seperti penyalur jasa TKW pasti mereka mencari yang tidak punya ijasah SD atau SMP agar dengan mudah diatur dan dijinakkan.
Ketiga, membaca itu melawan kemalasan. Tidak ada hak untuk sukses bagi orang malas. Adalah dosa sosial yang tidak terampuni bagi seorang Mahatmagandi bagi seseorang yang kaya tanpa bekerja. Pasti harta karunnya ini diperoleh dnegan cara yang tidak halal, tidak benar dan bahkan haram. Dalam hal ini ada pekerja rentenir, lintah darat, nganakno duit, dan sebagainya yang tidak akan mendapat keberkahan selama hidup dan matinya. Malas itu menuju neraka, sedangkan ketekunan akan memotivasi seorang untuk memuliakan dirinya dan orang lain. Keempat, membaca itu melawan lupa. Di tempat saya belajar di UGM, salah satu papan besar yang dipajang diperpustakaan bunyinya, ” banyak baca banyak lupa, tidak membaca ya tidak lupa.”. ini adalah sindiran bagi orang yang tidak punya kebiasaan membaca yang mereka tidak punya cukup pengetahuan sehingga menjadi sok tahu dan asal bunyi saja ketika membicarakan sesuatu, banyak mahasiswa dan dosen yang masih berada dalam kegelapan bacaan alias belum menjadikan membacara sebagai kebutuhan dasar (basic needs) sebagaimana makan dan minum. Di sisi lain jargon tersebut diatas adalah tantangan terhadap pribadi yang doyan membaca, yang kutu buku, dan bookaholic karena kalau banyak membaca banyak lupa maka harus membaca yang sebanyak-banyaknya sehingga semakin banyak yang tidak terlupakan kalau ada yang terlupakan dibaca lagi dan membaca lagi dan seterusnya dan seterusnya. Untuk apa? Untuk melawan lupa!
Jakarta, Oktober 5, 2009
Oleh : David effendi
Selain membaca itu untuk memotivasi diri dan orang lain manfaat lainm dari membaca adalah upaya keras dan kuat untuk melawan ketertinggalan, kebodohan, penindasan dan kefakirmiskinan yang melanda diri, keluarga, masyarakat dan bangsa kita. Bagi penulis, kekayaan bangsa bukan hanya berapa besar jumlah devisa, seberapa besar pulau, sebarapa banyak propinsi, atau seberapa besar sumber minyak yang terkandung di dalam perut bumi negeri ini. Melainkan seberapa besar hasrat masyarakat mencintai buku bacaan, seberapa ramai perpustakaan dibangun dan dikunjungi orang. Ini hanyalah mimpi karena sampai sekarang perpustakaan yang besar tetap kalah ramai dengan swalayan yang paling kecil di kecamatan. Apalagi membandingkan keramaian perpustakaan dengan careffour atau matahari mall. Gila!
Membaca bukan hanya kewajiban pribadi akan tetapi kewajiban peradaban bagi siapa saja yang merasa beradab. Tanpa membaca bagaimana anda mengerti bagaimana cara membangun dan mempertahankan peradaban utama, peradaban di mana kehidupan yang toleran, saling memanusiakan manusia, saling menebar kedamaian dan bukan menjadi binatang buas bagi sesama. Membaca itu melawan! Melawan apa?
Pertama, membaca itu melawan penindasan. Di sebuah desa saya yang kecil penindasan terjadi secara laten. Semua orang sadar betapa susah mencari uang. Tapi begitu tidak bernilainya uang. Al kisah, membuat KTP habis 30 hari ini pekerjaan sehari penuh, membuat akte kelahiran sampai 500 ribu, menikah sampai 400 ribu. Semua biaya ini tidak ada satupun yang mempertanyakan dimana aturan ini berasal dan bagaimana bunyinya? Seolah orang tidak peduli sama sekali karena membaca aturan itu bukanlah hal yang penting seperti halnya kita membeli hp atau televisi kita nyaris tidak pernah membaca buku panduanya. Kedua, membaca itu melawan kebodohan. Kalau bodoh kita gampang ditipu, kalau bodoh kita gampang disakiti, kalai bodoh kita menjadi korban selamanya. Kebodohan tidak pernah menguntungkan bagi kita tapi bisa jadi menguntungkan bagi penguasa, bagi orang jahat seperti penyalur jasa TKW pasti mereka mencari yang tidak punya ijasah SD atau SMP agar dengan mudah diatur dan dijinakkan.
Ketiga, membaca itu melawan kemalasan. Tidak ada hak untuk sukses bagi orang malas. Adalah dosa sosial yang tidak terampuni bagi seorang Mahatmagandi bagi seseorang yang kaya tanpa bekerja. Pasti harta karunnya ini diperoleh dnegan cara yang tidak halal, tidak benar dan bahkan haram. Dalam hal ini ada pekerja rentenir, lintah darat, nganakno duit, dan sebagainya yang tidak akan mendapat keberkahan selama hidup dan matinya. Malas itu menuju neraka, sedangkan ketekunan akan memotivasi seorang untuk memuliakan dirinya dan orang lain. Keempat, membaca itu melawan lupa. Di tempat saya belajar di UGM, salah satu papan besar yang dipajang diperpustakaan bunyinya, ” banyak baca banyak lupa, tidak membaca ya tidak lupa.”. ini adalah sindiran bagi orang yang tidak punya kebiasaan membaca yang mereka tidak punya cukup pengetahuan sehingga menjadi sok tahu dan asal bunyi saja ketika membicarakan sesuatu, banyak mahasiswa dan dosen yang masih berada dalam kegelapan bacaan alias belum menjadikan membacara sebagai kebutuhan dasar (basic needs) sebagaimana makan dan minum. Di sisi lain jargon tersebut diatas adalah tantangan terhadap pribadi yang doyan membaca, yang kutu buku, dan bookaholic karena kalau banyak membaca banyak lupa maka harus membaca yang sebanyak-banyaknya sehingga semakin banyak yang tidak terlupakan kalau ada yang terlupakan dibaca lagi dan membaca lagi dan seterusnya dan seterusnya. Untuk apa? Untuk melawan lupa!
Jakarta, Oktober 5, 2009
No comments:
Post a Comment