Pendidikan Miskin Leadership
Menjelang Satu Abad:
Pendidikan Muhammadiyah (masih) Miskin Leadership Skill
Oleh: David Efendi)*
“Pelajar hari ini, pemimpin masa depan”
Seorang Guru Muhammadiyah di desa kecil selalu dan selalu menyampaikan kata-kata tersebut diatas secara berulang-ulang layaknya KHA Dahlan menyampaikan al-Maun kepada muridnya sampai berkali-kali. Artinya, pendididikan kepemimpinan bagi guru tersebut sangat penting. Tidak hanya bagi guru tersebut tapi untuk masa depan peradaban, bangsa, dan persyarikatan ini. Tapi lambat laun, semakin sedikit yang menyadari hal ini.
Sebagai orang yang pernah mendapatkan pendidikan di bangku sekolah Muhammadiyah di pedalaman alias sekolah Muhammadiyah kampungan tentu ada kebanggaan ketika penulis menginjakkan kaki di pusat peradaban Muhammadiyah, Yogyakarta yang bisa menyaksikan ratusan sekolah Muhammadiyah yang megah, standar internasional, yang bisa dikatakan sebagai centre of exellance dari wajah Muhammadiyah yang selama ini penulis melihat bergaya kampungan di desa saya. Di balik kebanggaan tentu kemudian muncul berbagai pertanyaan yang janggal, muncul kegelisahan, dan kritik bahwa kemajuan itu Nampak indah dari luar dan Nampak kacau dari dalam karena mahal, ekslusif, tidak merakyat, dan miskin skill kepemimpinan. Semua bisa berubah, begitu juga wajah pendidikan Muhammadiyah. Apa yang tidak bisa berubah?
Pada awalnya tulisan ini berjudul Robohnya sekolah Muhammadiyah, akan tetapi kenyataanya kan bukan hanya sekolah Muhammadiyah yang roboh, sekolah Negara banyak juga yang roboh dan bubar (dimerger). Sehingga tulisan ini berganti haluan dan judul untuk mengambil salah satu engel dari begitu banyak hal yang pantas di soroti untuk tidak tergesa-gesa mengatakan everything is broken. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh pendidikan rusak-rusakan. Begitu juga beberapa tulisan yang menusuk sebuah penyelenggara lembaga pendidikan, yaitu sebuah makalah yang layak direnungkan yang ditulis Eko Prasetyo: beruntung aku tidak sekolah di Muhammadiyah. Apa alasannya, tentu salah satunya adalah mahal dan tidak ‘membebaskan. Dalam bahasa lain bisa dikatakan memiskinkan dan bukan ’memberdayakan’.
Selain pendidikan di Muhammadiyah kekurangan pelaku pendidikan (guru) yang bisa membangkitkan motivasi (motivator) bagi siswanya (warga belajar), sekolah Muhammadiyah juga miskin inpirator dan kreator. Guru tidak hanya tidak lagi digugu dan ditiru tapi nyaris tidak ada yang namanya guru inspiratif, pendidik yang mampu mendorong secara tidak langsng bagi murid-muridnya untuk memacu semangat dan karya kreatifnya untuk meraih mimpinya. Film atau novel laskar pelangi bisa menjadi lonceng kematian bagi pendidik inspiratif di Muhammadiyah. Meski ini asumsi akan tetapi bisa menjadi perhatian bagi pelaku pendidikan Muhammadiyah untuk menjadi dan menghasilkan guru yang kreatif dan inspiratif bagi warga belajarnya. Guru zaman ini dan yang akan datang, tidak mungkin hanya berfungsi sebagai transfer ilmu pengetahuan, hanya menjadi sumur yang kering karena ilmu pengetahuan bisa didapatkan jauh lebih besar tanpa melalui perantara guru. Guru di lingkungan Muhammadiyah sangat besar jumlahnya, apa tidak ada yang bisa menjadi inspirasi? Bagaimana menjadi guru yang inspiratif?
Menjadi pendidik yang inspiratif dan mampu memotivasi siswa didiknya bisa dilatih, bisa diciptakan, tentu dengan kerja keras, mulai dari kesungguhan guru untuk menjadi teladan bagi keluarga, siswa, dan masyarakat serta kesungguhan untuk terus berkarya dan berkarya agar tidak hanya jualan jamu di depan siswa dan masyarakatnya. Guru selain mengajar harus juga belajar, selain memberi seabrek tugas bagi muridnya, juga memberikan tugas yang setimpal bagi dirinya agar tidak masuk dalam golongan NATO (guru yang no action, talk only). Yang tentu ke depan guru yang demikian akan ditinggalkan oleh para pencari ilmu).
Sebagai kritik yang membangun. Satu hal yang penulis ingin sampaikan adalah tentang miskinnya dan fakirnya keterampilan menjadi pemimpin (leadership skill) di kalangan guru dan pendidikan di lingkungan sekolah Muhammadiyah. Dari sekian jumlah guru Muhammadiyah se-Indonesia ada berapa yang benar-benar menjadi pemimpin, ada berapa yang berusaha menjadi pemimpin, menjadi aktivis persyarikatan, ada berapa yang ikut Muhammadiyah untuk formalitas dan ceremonial, ada berapa yang oportunis, ada berapa yang hanya mencari nafkah di sekolah Muhammadiyah? Ini pertanyaan berat dan tidak akan pernah selesai dijawab. Dan banyak guru Muhammadiyah yang loyalitasnya terhadap persyarikatan nomor buncit. Kesetiaan kepada Muhammadiyah diletakka setelah kesetiaan kepada status PNSnya, partai politiknya, dan organisasi lainnya.
Kenapa miskin leadership?
Ada beberapa penyebab. Pertama, Orientasi sekolah muhammadiyah memang kebanyakan tidak untuk menjadi pemimpin sebagaimana maksud pendidikan Muhammadiyah. Banyak pengelola pendidikan di Muhamamdiyah yang mengarakan sekolahnya untuk memenuhi permintaan lapangan pekerjaan, atau untuk menawarkan tenaga kerja, dan atau untuk mendapatkan pekerjaan yang layak kelak nanti. Kepemimpinan menjadi sesuatu yang bukan utama, pendidikan inilah yang kemudian tidak memberdayakan, bahkan malah meninahbobokkan. Semnatara pendidikan kepemimpinan mampu memberikan harapan akan tercapainya pencerahan peradaban dan terwujudnya babak baru yaitu peradaban utama menjelang satu abad umur Muhammadiyah. Kedua, pendidik atau guru bukanlah aktivis atau orang yang terlibat dalam kepemimpinan atau pernah terlibat dalam organisasi sehingga pendidik yang golongan ini hanya berfikir mengajar dan mengajar, masa depan di tangan tuhan dan tergantung nasib. Agak fatalistik, naif bahkan magic. Ini guru Muhammadiyah tapi tidak mengamalkan ’ajaran’ Muhammadiyah. Seorang sahabat bilang, di lingkungan Muhammadiyah guru yang alumni AMM akan jauh lebih progresif mendidik siswanya dan rata-rata guru alumni AMM ini sudah khatam membaca buku-buku saudara Eko Prasetyo seperti: mendidikan itu melawan, Orang Miskin dilarang sekolah, dan sebagainya. Ini ke depan bisa diwajibkan untuk guru Muhammadiyah.
Kalau sekolah Muhammadiyah saja miskin leadership skill, sehari penuh di sekolah hanya untuk mempelajari matematika, mengeja a b c d dan seterusnya apa yang akan dibanggakan dari sekolah Muhammadiyah?. Kepemimpinan tidak diajarkan secara sungguh-sungguh keterampilan dan pentingnya pembelajaran tentang kepemimpinan lalu siapa yang akan mengisi Muhammadiyah, siapa yang berminat kembali ke Muhammadiyah setelah menjalani pendidikan, siapa yang mau pulang kampung untuk mengurus rantingMuhammadiyah yang mati suri. Siapa?
Ketiga, Ada organisasi pelajar Muhamamdiyah bernama IPM yang masih(sedang) berjuang untuk mendapatkan pengakuan sekolah, yang masih sering tidak didukung oleh stake holder sekolah Muhammadiyah masih sering dipandang dengan mata sebelah. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan, pembelajaran menjadi pemimpin dna organisasi bukan hal yang urgent di sekolah. Ini juga merupakan kegagalan kita melihat zaman secara komprehensif dan futuristik bahwa ke depan pemimpin-pemimpinlah yang akan menentukan wajah Muhammadiyah dan rupa negeri ini. Tanpa pendidikan kepemimpinan yang sistematik, terprogram, integral dan terencana dengan baik di sekolah Muhammadiyah, tanpa itikad dan kerja keras mulai dari sekarang, peradaban utama itu masih jauh panggang dari api, masih mimpi di siang bolong. Tanpa pendidikan kepemimpinan, Muhammadiyah bukanlah apa-apa! Cepat atau lambat.
)*David Efendi. Direktur LaPSI (lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani) Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Bisa dihub masdavid_4all@yahoo.com
Pendidikan Muhammadiyah (masih) Miskin Leadership Skill
Oleh: David Efendi)*
“Pelajar hari ini, pemimpin masa depan”
Seorang Guru Muhammadiyah di desa kecil selalu dan selalu menyampaikan kata-kata tersebut diatas secara berulang-ulang layaknya KHA Dahlan menyampaikan al-Maun kepada muridnya sampai berkali-kali. Artinya, pendididikan kepemimpinan bagi guru tersebut sangat penting. Tidak hanya bagi guru tersebut tapi untuk masa depan peradaban, bangsa, dan persyarikatan ini. Tapi lambat laun, semakin sedikit yang menyadari hal ini.
Sebagai orang yang pernah mendapatkan pendidikan di bangku sekolah Muhammadiyah di pedalaman alias sekolah Muhammadiyah kampungan tentu ada kebanggaan ketika penulis menginjakkan kaki di pusat peradaban Muhammadiyah, Yogyakarta yang bisa menyaksikan ratusan sekolah Muhammadiyah yang megah, standar internasional, yang bisa dikatakan sebagai centre of exellance dari wajah Muhammadiyah yang selama ini penulis melihat bergaya kampungan di desa saya. Di balik kebanggaan tentu kemudian muncul berbagai pertanyaan yang janggal, muncul kegelisahan, dan kritik bahwa kemajuan itu Nampak indah dari luar dan Nampak kacau dari dalam karena mahal, ekslusif, tidak merakyat, dan miskin skill kepemimpinan. Semua bisa berubah, begitu juga wajah pendidikan Muhammadiyah. Apa yang tidak bisa berubah?
Pada awalnya tulisan ini berjudul Robohnya sekolah Muhammadiyah, akan tetapi kenyataanya kan bukan hanya sekolah Muhammadiyah yang roboh, sekolah Negara banyak juga yang roboh dan bubar (dimerger). Sehingga tulisan ini berganti haluan dan judul untuk mengambil salah satu engel dari begitu banyak hal yang pantas di soroti untuk tidak tergesa-gesa mengatakan everything is broken. Sebagaimana yang pernah ditulis oleh pendidikan rusak-rusakan. Begitu juga beberapa tulisan yang menusuk sebuah penyelenggara lembaga pendidikan, yaitu sebuah makalah yang layak direnungkan yang ditulis Eko Prasetyo: beruntung aku tidak sekolah di Muhammadiyah. Apa alasannya, tentu salah satunya adalah mahal dan tidak ‘membebaskan. Dalam bahasa lain bisa dikatakan memiskinkan dan bukan ’memberdayakan’.
Selain pendidikan di Muhammadiyah kekurangan pelaku pendidikan (guru) yang bisa membangkitkan motivasi (motivator) bagi siswanya (warga belajar), sekolah Muhammadiyah juga miskin inpirator dan kreator. Guru tidak hanya tidak lagi digugu dan ditiru tapi nyaris tidak ada yang namanya guru inspiratif, pendidik yang mampu mendorong secara tidak langsng bagi murid-muridnya untuk memacu semangat dan karya kreatifnya untuk meraih mimpinya. Film atau novel laskar pelangi bisa menjadi lonceng kematian bagi pendidik inspiratif di Muhammadiyah. Meski ini asumsi akan tetapi bisa menjadi perhatian bagi pelaku pendidikan Muhammadiyah untuk menjadi dan menghasilkan guru yang kreatif dan inspiratif bagi warga belajarnya. Guru zaman ini dan yang akan datang, tidak mungkin hanya berfungsi sebagai transfer ilmu pengetahuan, hanya menjadi sumur yang kering karena ilmu pengetahuan bisa didapatkan jauh lebih besar tanpa melalui perantara guru. Guru di lingkungan Muhammadiyah sangat besar jumlahnya, apa tidak ada yang bisa menjadi inspirasi? Bagaimana menjadi guru yang inspiratif?
Menjadi pendidik yang inspiratif dan mampu memotivasi siswa didiknya bisa dilatih, bisa diciptakan, tentu dengan kerja keras, mulai dari kesungguhan guru untuk menjadi teladan bagi keluarga, siswa, dan masyarakat serta kesungguhan untuk terus berkarya dan berkarya agar tidak hanya jualan jamu di depan siswa dan masyarakatnya. Guru selain mengajar harus juga belajar, selain memberi seabrek tugas bagi muridnya, juga memberikan tugas yang setimpal bagi dirinya agar tidak masuk dalam golongan NATO (guru yang no action, talk only). Yang tentu ke depan guru yang demikian akan ditinggalkan oleh para pencari ilmu).
Sebagai kritik yang membangun. Satu hal yang penulis ingin sampaikan adalah tentang miskinnya dan fakirnya keterampilan menjadi pemimpin (leadership skill) di kalangan guru dan pendidikan di lingkungan sekolah Muhammadiyah. Dari sekian jumlah guru Muhammadiyah se-Indonesia ada berapa yang benar-benar menjadi pemimpin, ada berapa yang berusaha menjadi pemimpin, menjadi aktivis persyarikatan, ada berapa yang ikut Muhammadiyah untuk formalitas dan ceremonial, ada berapa yang oportunis, ada berapa yang hanya mencari nafkah di sekolah Muhammadiyah? Ini pertanyaan berat dan tidak akan pernah selesai dijawab. Dan banyak guru Muhammadiyah yang loyalitasnya terhadap persyarikatan nomor buncit. Kesetiaan kepada Muhammadiyah diletakka setelah kesetiaan kepada status PNSnya, partai politiknya, dan organisasi lainnya.
Kenapa miskin leadership?
Ada beberapa penyebab. Pertama, Orientasi sekolah muhammadiyah memang kebanyakan tidak untuk menjadi pemimpin sebagaimana maksud pendidikan Muhammadiyah. Banyak pengelola pendidikan di Muhamamdiyah yang mengarakan sekolahnya untuk memenuhi permintaan lapangan pekerjaan, atau untuk menawarkan tenaga kerja, dan atau untuk mendapatkan pekerjaan yang layak kelak nanti. Kepemimpinan menjadi sesuatu yang bukan utama, pendidikan inilah yang kemudian tidak memberdayakan, bahkan malah meninahbobokkan. Semnatara pendidikan kepemimpinan mampu memberikan harapan akan tercapainya pencerahan peradaban dan terwujudnya babak baru yaitu peradaban utama menjelang satu abad umur Muhammadiyah. Kedua, pendidik atau guru bukanlah aktivis atau orang yang terlibat dalam kepemimpinan atau pernah terlibat dalam organisasi sehingga pendidik yang golongan ini hanya berfikir mengajar dan mengajar, masa depan di tangan tuhan dan tergantung nasib. Agak fatalistik, naif bahkan magic. Ini guru Muhammadiyah tapi tidak mengamalkan ’ajaran’ Muhammadiyah. Seorang sahabat bilang, di lingkungan Muhammadiyah guru yang alumni AMM akan jauh lebih progresif mendidik siswanya dan rata-rata guru alumni AMM ini sudah khatam membaca buku-buku saudara Eko Prasetyo seperti: mendidikan itu melawan, Orang Miskin dilarang sekolah, dan sebagainya. Ini ke depan bisa diwajibkan untuk guru Muhammadiyah.
Kalau sekolah Muhammadiyah saja miskin leadership skill, sehari penuh di sekolah hanya untuk mempelajari matematika, mengeja a b c d dan seterusnya apa yang akan dibanggakan dari sekolah Muhammadiyah?. Kepemimpinan tidak diajarkan secara sungguh-sungguh keterampilan dan pentingnya pembelajaran tentang kepemimpinan lalu siapa yang akan mengisi Muhammadiyah, siapa yang berminat kembali ke Muhammadiyah setelah menjalani pendidikan, siapa yang mau pulang kampung untuk mengurus rantingMuhammadiyah yang mati suri. Siapa?
Ketiga, Ada organisasi pelajar Muhamamdiyah bernama IPM yang masih(sedang) berjuang untuk mendapatkan pengakuan sekolah, yang masih sering tidak didukung oleh stake holder sekolah Muhammadiyah masih sering dipandang dengan mata sebelah. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan, pembelajaran menjadi pemimpin dna organisasi bukan hal yang urgent di sekolah. Ini juga merupakan kegagalan kita melihat zaman secara komprehensif dan futuristik bahwa ke depan pemimpin-pemimpinlah yang akan menentukan wajah Muhammadiyah dan rupa negeri ini. Tanpa pendidikan kepemimpinan yang sistematik, terprogram, integral dan terencana dengan baik di sekolah Muhammadiyah, tanpa itikad dan kerja keras mulai dari sekarang, peradaban utama itu masih jauh panggang dari api, masih mimpi di siang bolong. Tanpa pendidikan kepemimpinan, Muhammadiyah bukanlah apa-apa! Cepat atau lambat.
)*David Efendi. Direktur LaPSI (lembaga Pengembangan Sumber Daya Insani) Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Bisa dihub masdavid_4all@yahoo.com
No comments:
Post a Comment