Kiyai yang Hilang

Pak AR (sangpencerah.com)
Merinding rasanya mendengar kisah-kisah tentang almarhum Pak AR. Fachruddin, ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang paling lama menjabat. Kemarin saya berkesempatan untuk mengikuti Rihlah Dakwah PP Muhammadiyah ke PDM Jakarta Timur, di Mesjid Asudairi Muhammadiyah Rawamangun.

Acara ini merupakan ajang silaturahmi Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dengan berbagai Pimpinan Daerah Muhammadiyah, dengan rangkaian acara yang dimulai sejak sore ba'da Ashar hingga pagi. Terdapat empat sesi materi, pertama ba'da Ashar hingga menjelang Magribh materi tentang perjuangan KH. Ahmad Dahlan, kedua sambutan atau ceramah oleh PDM Jakarta Timur, ketiga materi tentang Ibadah Sholat ba'da Isya hingga pukul 22.00 WIB, istirahat hingga sholat tahajud pukul 03.00 pagi, setelah itu materi keempat pada ba'da shubuh hingga pukul 06.00 pagi tentang The 9 Golden Habits.

Dalam dakwah perlu menjunjung tiga nilai, yaitu ikhlas, cinta, dan komitmen. Begitulah ayahanda PP Muhammadiyah mengambil inti dari sambutan Pak Abu Bakar, selaku ketua PDM Jakarta Timur. Perjalanan hidup dan jalan dakwah KH. Ahmad Dahlan telah sering kita dengar. Bahkah telah menjadi inspirasi dan dijadikan film layar lebar. Dari sekian banyak tokoh dan legenda Muhammadiyah, yang patut dijadikan teladan adalah Pak AR. Fachruddin.

Cerita tentang Pak AR. Fachruddin mengerucut ketika penutupan. Pak Qomar selaku Ketua Majelis Tabligh PWM DKI Jakarta hingga berlinang air mata ketika mengisahkan Pak AR, panggilan akrab Pak AR Fachruddin. Nama lengkap beliau adalah Abdur Rozak Fachruddin, lahir di Yogyakarta pada 14 Februari 1916. Kehidupan awal Pak AR sudah berkecimpung di Muhammadiyah, karena mengenyam pendidikan di Standaard School, Sekolah Dasar Muhammadiyah di Jogja hingga Tablighschool, sekolah Mubalighin. Beliau pun sempat ditugaskan ke Daerah Sumatera Selatan, serta mengembangkan dakwah Muhammadiyah dan mendirikan lembaga pendidikan Muhammadiyah disana. Pak AR diamanahkan menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama beberapa Muktamar, terhitung hingga 22 tahun dari 1968-1990. Sebelumnya memang Pak AR pernah menjadi Ketua PDM Kota Yogyakarta, dan PWM DIY.

Sebagai pimpinan, Pak AR bisa kita sebut "pejabat". Tapi beliau tidak silau dengan jabatan dan tahta. Begitupun harta. Pak AR tetap bersahaja. Bahkan beliau menjual bensin eceran di depan rumahnya. Seperti yang ditulis Taufiq Ismail dalam puisinya tentang Muhammadiyah.

Suatu ketika ada tamu ke Jogja, tamu itu minta tolong kepada Pak AR untuk minta diantarkan ke rumah sekretaris PP Muhammadiyah, Pak AR membawakan tas tamu itu dan memesankan becak. Tamu tersebut tidak tau yang telah membantunya adalah ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Rumah Pak AR di jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta kini menjadi kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Betapa beliau telah mewakafkan diri dan apa yang dimilikinya semata-mata untuk persyarikatan dan kemanusiaan. Jika ditanyakan siapakah Ketua PP Muhammadiyah yang dekat dengan karyawan, pimpinan, dan anggota persyarikatan? Sudah tentu itu Pak AR. Gaji beliau dari Pemerintah saja selalu dibagikan kepada fakir miskin ataupun karyawan di PP Muhammadiyah.

Banyak yang bilang bahwa dakwah Pak AR itu sejuk, lemah lembut, tapi membuat para pendengar tertarik. Ciri khas beliau sebagai pemimpin sangat diidamkan. Disegani siapapun, baik sipil militer, termasuk Presiden kala itu, Pak Harto. Seperti halnya Kiayi Ahmad Dahlan yang disegai rezim penjajah kala itu. Dua Kiayi ini telah tiada. Semoga damai di sisiNya.

Puisi
Rasa Syukur dan Doa Bersama
dari Taufiq Ismail untuk 1 Abad Muhammadiyah

Saudaraku, dapatkah kau bayangkan
Seratus lebih tahun yang lalu masanya
Ada anak muda yang ingin melalukan sesuatu untuk umatnya
Dan dia berbuat
Teman-temannya diajak bersama

Dapatkah kau perkirakan
Bagaimana sederahana kerja yang dimulainya
Betapa bersahaja lingkungan di sekitarnya
Tetapi jejak panjang ribuan kilometer
Dimulai dengan langkah bersama

Dia menghimpun ummat dengan cita-cita yang sama
Tarjih, tajdid, menolong kesengsaraan umum, mencerdaskan bangsa
Betapa bersahajanya
Dia tidak kenal sistem gerakan, organisasi dan kepemimpinan
Dia tidak tau sumber daya, jaringan, aksi, dan pelayanan

Itu teori-teori abad dua puluh satu ini
Di zaman itu belum dilahirkan
Sementara itu, dengan pandangan mata biru
Lihatlah batas pemisahan
Antara garis air dan tanah di bumi terbentang di bawah sana

Lihatlah sungai, pantai, bukit, sawah, ladang, dan pegunungan
Lihatlah kota, kebun-kebun, jalan berliku, sepanjang lautan, garis pelayaran
Semua muncul dengan garis-garis dan bidang begitu banyak warnanya
Yang begitu indahnya
Kata orang itu sekeping sorga

Itu sekeping jannah ke dunia dilemparkan
Organisasi ini seratus tahun kemudian
Memeluk seluruh panorama itu
Dimulai ketika tanah air kita baru di mimpi empat puluh lima puluh juta orang jumlah manusianya
Dan kini begitu membesar

Empat sampai lima kali lipat gandanya
Dahulu masih dalam cengkraman kuku penjajahan begitu lama
Kini sudah berbeda dengan rangkaian pengalaman bahagia dan deritanya
Organisasi ini sertus tahun kemudian tumbuh
Dan membesar ormasnya
Kemudian mendewasa dengan kekayaan pengalamannya

Lihatlah
Enam ribu taman kanak-kanak
Lima ribu tujuh ratus dua puluh delapan sekolah dasar
Tiga ribu dua ratus dua puluh sembilah SMP
Dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam SMA
Seratus satu SMK
Empat puluh lima mu'allimin dan pesantren
Seratus enam puluh delapan perguruan tinggi
Kemudian, kemudian, tujuh puluh rumah sakit
Dua ratus delapan puluh tujuh BKIA
Tiga ratus panti yatim piatu

Dan semua ini diurus oleh tiga ribu dua ratus dua puluh satu pengurus cabang
Delapan ribu seratus tujuh pengurus ranting
Kemudian, kemudian, di dunia luar di sana
Di luar Indonesia tiga belas cabangnya
Dan tanah wakaf dua puluh sembilan juta hektar luasnya
Tidak akan terpikirkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan
Sang pendiri raksasanya ormas ini

Alhamdulillah, alhamdulillah
Fenomena ini sangat pantas
Dengan rasa sangat dalam disyukuri
Betapa lagi luar biasa
Bila diikuti doa
Dua puluh dua juta anggota di seluruh nusantara
Yang membacakan puisi ini
Adalah satu dari yang dua puluh dua juta orang itu
Saya terkenang pada masa masuk sekolah dasar hari-hari pertama

Enam puluh delapan tahun yang lalu
Di Sekolah Rakyat Muhammadiyah dua Surakarta
Ketika itu tentara Jepang menduduki Indonesia tahun pertama
Saya ke sekolah
Lalu diantar ibu saya pagi-pagi
Menyeberang rel kereta api
Lalu menjinjing sabak dan kotak grip kecil bikinan Jepara
Sakali seminggu latihan pandu Hizbul Wathan
HW, pake topi gagah sekali
Saya terkenang ketika saya tamat enam tahun kemudian
Di Sekolah Rakyat Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta
Tahun sembilan belas empat puluh delapan di zaman revolusi
Di ibukota Republik Indonesia

Terimakasih Muhammadiyah
Guru di sekolah Muhammadiyah, terima kasih
Pak Solihin, Bu Badriah, terima kasih
Kalian mengajariku ilmu-ilmu
Berhitung, mencongak, ilmu bumi, serta ilmu manusia
Model sebelum masuk kelas
Dipimpin oleh pak Alfian
Satu sekolah berdoa bersama

Tapi
Di Ngupasan
Surat Al Maun yang paling berkesan dari semuanya
Thoamil miskin, thoamil miskin
Memberi makan orang miskin, memberi makan orang miskin
Betapa tertancap dalam
Surat Al Maun
Demikianlah
Ku doakan guru-guru
Guru-guruku itu

Kemudian ku doakan sahabat-sahabat ayah dan ibuku
Buya Hamka, Iktaulik Paradek, kawan sekelas ayah saya
Pak Farid Makruf, di Kauman
Pak Kahar Muzakkir, di Kotagede
Keduanya guru besar yang sederhana
Ibu Zaenab Damiri, Ibuku bersama beliau di Aisyiyah di zaman revolusi

Kemudian, kemudian, ku doakan pula Pak AR Fachruddin
Kyai yang sangat bersahaja
Yang di rumah, yang di halaman rumah beliau 
Menjual bensin eceran
Untuk motor mahasiswa

Dan
Ku doakan, ku doakan
Seluruh pemimpin ummat
Tak ku kena nama dan wajah mereka
Ku doakan persyarikatan ini
Semoga tangguh sebagai bahtera di samudera
Kita semua penumpangnya paham
Ancaman taupan dan gelombang raksasa

Tapi
Selama tauhid berdetak di jantung
Dan berdesah di nafas
Kita gentar tiada
---
Dibacakan oleh Taufiq Ismail dalam Malam Tasyakuran Satu Abad Muhammadiyah
Stadion Mandala Krida Yogyakarta, 3 Juli 2010

Puisi dari : http://immcabangbskm.wordpress.com/2010/09/01/rasa-syukur-dan-doa-bersama-dari-taufiq-ismail-untuk-1-abad-muhammadiyah/
Profil lengkap Pak AR : http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-165-det-kh-ar-fachdrudin.html

Gue Bukan Gie

Foto : Istimewa
Entah sudah berapa kali saya menonton film Gie. Sepertinya lebih dari lima kali. Film Gie yang mengangkat perjalanan hidup seorang aktivis zaman Orde Lama yang bernama Soe Hok Gie. Film yang terinspirasi dari kisah nyata ini memang untuk darah muda yang selalu bersemangat seperti saya. :)

Dosen saya pernah bilang, seperti apa yang ditulis Gie, berbahagialah mereka yang mati muda. Banyak aktivis yang mati muda, tapi mereka selalu dikenang melalui tulisan mereka. Seperti Gie, ada juga Chairil Anwar, yang terkenal dengan puisi-puisinya. Sementara itu Gie dikenang dalam tulisannya Catatan Seorang Demonstran. Ia memang seorang penentang, terutama kepada aturan-aturan yang tidak memihak pada kebenaran, kepentingan rakyat, yang menindas, dan yang hanya mementingkan golongan tertentu saja. “Tak ada yang lebih puitis selain mengatakan kebernaran” kata Gie.

Ada yang bilang bahwa film Gie hanya propaganda. Melalui ceritanya, khalayak dihadapkan atas dua sisi yang berbeda dari keadaan saat itu, maupun sisi lain dari tokoh-tokoh yang ditampilkan, termasuk sisi lain dari Gie sendiri.

Bagi saya, realitas yang dihadapkan kepada kita, perlu kita kaji lagi. Itulah gunanya diskusi. Dalam film ini, sejak sekolah dasar, Gie muda senang membaca dan berdiskusi. Di kelas dia termasuk yang paling aktif menyampaikan pendapatnya. Baik itu tentang kebijakan maupun tentang pelajaran. Puncaknya saat dia kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Diskusi sangat intens ia lakukan dengan kawan-kawannya. Diskusi tentang kampus, pemerintahan, maupun tentang lingkungan. Tak sampai disitu, referensi yang dilakukan bukan tentang realitas disekeliling, ada juga dari buku maupun dalam bedah film.

Gie lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Gie menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Semeru, Jawa Timur. Melakukan aktifitas di alam adalah salah satu kesenangannya. Hampir setiap akhir pekan ia habiskan untuk mendaki gunung, terutama gunung Gede, di taman nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Seperti lagu yang menceritakan kisahnya “berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu sebenarnya”.

Seperti halnya dalam demostrasi, demonstran turun ke jalan untuk menyampaikan suaranya, menyuarakan tuntutannya. Bagi Gie, itu hanya bagian kecilnya saja. Gie melawan dengan menulis. Hingga ia menjadi dosen di almamaternya, Gie tetap kritis melihat situasi yang menurutnya tidak sesuai.

Sejak kecil Gie selalu mempunyai teman yang dekat dengannya. Apalagi ketika kuliah, kedekatan dengan kawan-kawannya memperlihatkan dirinya perlu bekerjasama, ia tak bisa sendiri. Dalam perjuangan perlu kebersamaan dan saling menjaga. Mungkin itulah filosofi yang Gie ambil dari perjalanannya naik-turun gunung di Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala).

Dalam cinta, Gie kurang begitu mahir. Dalam menjalin hubungan kekasih, katanya ia agak “rikuh”. Selain faktor kondisi politik pada saat itu yang memprihatinkan, faktor cinta membuat hatinya merenung lebih dalam. Menjadi inspirasinya dalam menulis di kehidupannya yang singkat.
Sebagai seseorang yang lahir di tanah air, kita sama tak ada yang berbeda. Perjuangan kita sama, untuk mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk mewujudkan negeri damai, adil, makmur dan raknyatnya yang sejahtera. Meskipun dalam jalan dan waktu yang berbeda.

Puisi Cahaya Bulan
Soe Hok Gie

Akhirnya semua akan tiba pada sautu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Kabut tipis pun turun pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi

Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra
Lebih dekat

Apakah kau masih akan berkata
Kudengar detak jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta

Cahaya bulan menusukku dengan ribuan pertanyaan
Yang tak akan pernah ku tau dimana jawaban itu

Bagai letusan Merapi bangunkan ku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati

Gambar : ulasberitadotcom.blogspot.com